Rabu, 10 Oktober 2012

Psikologi Fanatic (FANGIRLS)

Pengertian Fanatik

Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu
keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau
yang negatif, pandangan dimana tidak memiliki sandaran teori atau
pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah
diluruskan atau diubah. (A Favourable or unfavourable belief or
judjment, made without adequate evidence and not easily alterable by
the presentation of contrary evidence).

Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen
rationil pun susah digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat
disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang
dalam;
  • berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu,
  • dalam berfikir dan memutuskan,
  • dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan
  • dalam merasa.

Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu
memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap
masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat
selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik
adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain
yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar
fanatisme mengambil bentuk;
  • fanatik warna kulit,
  • fanatik etnik/kesukuan, dan
  • fanatik klas sosial.

Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri,
tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau klas
sosial.
Pada hakikatnya, fanatisme merupakan usaha perlawanan kepada
kelompok dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya
tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas),
bisa juga dalam arti minoritas peran (Kualitas). Di negara besar
semacam Amerika misalnya juga masih terdapat kelompok fanatik
seperti:
  • Fanatisme kulit hitam (negro)
  • Fanatisme anti Yahudi
  • Fanatisme pemuda kelahiran Amerika melawan imigran
  • Fanatisme kelompok agama melawan kelompok agama lain.

Analisis Terhadap Fanatisme

Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negri
maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun
pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat
atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan
sifat bawaan manusia atau karena direkayasa?

1. Sebagian ahli ilmu jiwa, mengatakan bahwa sikap fanatik itu
merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa pada
lapisan masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau
kelompok yang memilki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme itu
merupakan konsekwensi logis dari kemajemukan sosial atau
heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa
didahului perjumpaan dua kelompok sosial.

Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang
segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu
kemudian melahirkan pengelompokan "in group" dan "out group".
Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas
terhadap orang-orang yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang
yang berbeda faham. Ketidak sukaan itu tidak berdasar argumen logis,
tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of
the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang
tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan
karena adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of
cognition).

Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik - dalam arti cinta
buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai -
dapat dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan
(narcisisme), yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan
kelebihan yang ada pada dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya
pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka ,
kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda
dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang
sempit.

2. Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia,
tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini
ialah bahwa anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama
anak-anak, tanpa membedakan warna kulit ataupun agama. Anak-anak
dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelum
ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya.
Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara
serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan
disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan
dan berbeda-beda sebabnya.

3. Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat
agressi seperti yang dimaksud oleh Sigmund Freud ketika ia menyebut
instink Eros (ingin tetap hidup) dan instink Tanatos (siap mati).

4. Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu
berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan
dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan
tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan,
dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang
sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai
oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang
menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan
dirinya. Munculnya kelompok ultra ekstrim dalam suatu masyarakat
biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam
sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang
itu tinggal. Di Indonesia, ketika kelompok Islam dipinggirkan secara
politik pada zaman Orde Baru terutama pada masa kelompok elit
Kristen Katolik (Beni Murdani, Sudomo, Radius Prawiro, Andrianus
Moy, Sumarlin, Hutahuruk, Jendral Pangabean) secara efektif
mengontrol pembangunan Indonesia, maka banyak kelompok Islam merasa
terancam, dan mereka menjadi fanatik. Ketika menjelang akhir Orde
Baru di mana kelompok Kristen Katolik mulai tersingkir sehingga
kabinet dan parlemen disebut ijo royo-royo (banyak orang Islamnya),
giliran orang Kristen yang merasa terancam, dan kemudian menjadi
ekstrim, agressip dan destruktif seperti yang terjadi di Kupang dan
Ambon , Poso, juga Kalteng (juga secara tersembunyi di Jakarta).

Jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang
lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi
dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi
frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada
orang lain. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci
kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara
psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan
prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka
orang itu menjadi agressif. 

Teori ini dapat digunakan untuk menganalisa perilaku agressip
orang Palestina yang merasa terancam oleh orang Yahudi Israel,
agressip kepada warga dan tentara Israel, dan perilaku orang
Yahudi yang merasa terkepung oleh negara-negara Arab agressip kepada
orang Palestina. Teori ini juga dapat digunakan untuk menganalisa
perilaku ektrim kelompok sempalan Islam di Indonesia pada masa
orde baru (yang merasa ditekan oleh sistem politik yang didominasi
oleh oknum-oknum anti Islam), agressip kepada Pemerintah.

Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk
mengurai perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup
dengan menggunakan satu teori, karena fanatik bisa disebabkan oleh
banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja. Munculnya perilaku
fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di
suatu masa. boleh jadi
(a) merupakan akibat lagis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh
jadi
(b) merupakan perwujudan dari motif pemenuhan diri kebutuhan
kejiwaan individu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.

Cara Mengobati Perilaku Fanatik

Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara
penyembuhannya juga berbeda-beda.
  • Pengobatan yang sifatnya sekedar mengurangi atau mereduksi sikap
fanatik harus menyentuh masalah yang menjadi sebab munculnya
perilaku fanatik.
  • Jika perilaku fanatik itu disebabkan oleh banyak faktor maka
dalam waktu yang sama berbagai cara harus dilakukan secara serempak
(simultan) .

Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi,
pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik
yang disebabkan oleh perasaan tertekan, terpojok dan terancam, maka
pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya
perasaan itu. Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan
ekonomi yang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat secara
alamiah akan melunturkan sikap fanatik pada mereka yang selama ini
merasa teraniaya dan terancam.

Klien dan Konselor Perilaku Fanatik

Pada umumnya orang yang memiliki pandangan fanatik merasa tidak
membutuhkan nasehat dari orang lain selain sesama (in group) mereka.
Oleh karena itu konselorlah yang harus aktif berusaha mendekati
klien. Yang dapat dilakukan oleh seorang konselor terhadap klien
fanatik antara lain :
1).Mengajak berfikir rationil. Pada umumnya orang fanatik tidak
rationil dalam memandang masalah yang diyakininya benar. Jika ia
dapat kembali berfikir rationil dalam bidang yang diyakini itu maka
secara otomatis sikap fanatiknya akan mencair.
2). Menunjukkan contoh-contoh yang pernah terjadi akibat dari
perilaku fanatik. Pada umumnya perilaku fanatik berakhir dengan
kekacauan, kegagalan atau bahkan penjara. Orang yang telah sadar
dari kekeliruannya berpandangan fanatik biasanya kemudian
mentertawakan diri sendiri atas kepicikannya di masa lalu.

Sedangkan konselor perilaku fanatik disamping harus memiliki wawasan
konseling, secara khusus ia harus memiliki pengalaman yang luas
sehingga ia tidak menggurui tetapi menggelitik cara berfikir klien
yang tidak rationil itu.

Sumber : http://mubarok-institute.blogspot.com

FANGIRLS

Atmi Ahsani Yusron, 0906492000, Ilmu Komunikasi/Industri Kreatif Penyiaran 2009


Beberapa waktu yang lalu, saya pernah melakukan komunikasi dengan fangir dari fandom bernama ELF. Fandom ini merupakan nama resmi untuk fans Super Junior, boyband asal Korea Selatan. Fanatisme mereka pada boyband tersebut dapat dikatakan sangat tinggi tetapi dari sudut pandang orang awam hal tersebut bisa saya katakan berlebihan. Seperti namanya: boyband Super Junior adalah sebuah grup yang seluruh membernya adalah laki-laki dengan kisaran usia 23-28 tahun, berwajah tampan, postur tinggi dengan badan atletis dan memiliki kemampuan bernyanyi dan menari yang memadai. Ketika saya melakukan komunikasi dengan mereka, saya selalu menempatkan diri saya sebagai seorang fans yang berbeda dan terkadang berpura-pura tidak tahu bagaimana kebiasaan para fangirl. Dengan cara seperti itu, saya dapat mengetahui bagaimana sebenarnya sifat para fans tersebut, bagaimana mereka bersikap jika ada isu tentang idola mereka, dan bagaimana sebenarnya mereka memandang idola mereka tersebut. Sesuai dengan pengamatan yang saya lakukan, kebanyakan dari para fangirl terutama para ELF, adalah fandom yang sangat mudah menunjukkan kefanatikan mereka dan termasuk juga dalam fandom yang sangat mudah tersinggung. Hal ini terlihat dari komentar-komentar mereka terhadap sebuah isu yang berkaitan dengan idola mereka. Kita ambil contoh, pairing member salah satu boyband (dalam hal ini Super Junior) dengan member girlband (kita ambil contoh Girls’ Generationii). Para ELF dengan fanatisme mereka, memiliki kedekatan secara psikologis yang pada akhirnya justru tampak seperti ‘rasa penguasaan’ terhadap idola mereka. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa idola mereka tersebut adalah ‘suami’ mereka yang tidak boleh disentuh ataupun dipasang-pasangkan dengan perempuan manapun. Fans yang demikian sangat mengutuk setiap pairing yang dilakukan oleh para fans girlband Girls’ Generation yang pada akhirnya membuat mereka sangat membenci girlband tersebut. Menurut mereka, Super Junior adalah milik mereka dan mereka tidak suka jika Super Junior menjadi milik orang lain terlebih lagi orang lain tersebut adalah member dari sebuah girlband. Pernah suatu kali saya dengan sengaja memasangkan salah seorang member Super Junior (Choi Siwoniii) dengan salah seorang member Girls’ Generation (Im Yoona) dan mengunggah foto mereka ke jejaring sosial twitter. Beberapa diantara fangirl tersebut marah besar sampai memblock twitter saya, sedangkan beberapa diantara mereka terkesan santai dan tidak mempermasalahkan hal tersebut bahkan ada pula yang mendukung meskipun persentase yang menolak lebih banyak. Berangkat dari pengalaman tersebut saya mengambil kesimpulan bahwa, fanatisme mereka terhadap setiap member yang menjadi idola mereka membuat mereka memiliki rasa kepemilikan. Fangirl adalah sebutan untuk fans perempuan, fanboy adalah sebutan untuk fans laki-laki, yaitu seseorang dengan rasa suka dan antusias terhadap hal-hal tertentu Sebutan untuk komunitas yang memiliki kesukaan yang sama adalah Fandom.Sebutan lain untuk personil; fandom Boyband Korea secara umum menggunakan istilah member, bukan personil.
Fanatisme mereka pada setiap member yang menjadi idola mereka membuat mereka memiliki rasa kepemilikan yang kuat,  sehingga mereka akan menolak apapun yang menurut mereka tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Pada kesempatan berbeda, saya menemukan fakta lain bahwa para ELF lebih menyukai jika pairing dilakukan hanya dengan sesama member boyband yang notabenenya adalah sesama laki-laki. Entah kenapa saya merasa ini sedikit aneh, karena secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa mereka mendukung homoseksual (dan memang pada kenyataannya para fangirl mulai terbiasa dengan hal-hal berbau gay dan homoseksual tersebut). Walaupun terdengar sangat aneh dan justru membuat mereka dianggap melenceng oleh orang-orang awam, tetapi pada kenyataannya, komunitas ELF secara umum mendukung hal itu. Namun kemudian ini menjadi sangat wajar karena berangkat dari kesenangan fans yang melakukan pairing dengan sesama member tersebut, para member boyband bersangkutan pun menjadi lebih sering melakukan kontak fisik dengan sesama member lain yang telah dipasangkan oleh fans sendiri diberbagai kesempatan seperti misalnya konser atau show mereka di atas panggung. Mereka menyebut hal ini sebagai fan service di mana para member akan melakukan apa yang memang disukai oleh para fans seperti misalnya berciuman dengan sesama member, melepas pakaian, melakukan kontak fisik, berpelukan dan sebagainya. Di sisi lain, ada pula tipe fans yang memang dengan terang-terangan menyatakan bahwa sebenarnya para member boyband tersebut memang adalah homoseksual (tanpa bermaksud menghina, tetapi memang benar-benar menganggap demikian dan menjadi suatu hal yang sudah tidak tabu lagi). Bagi fans yang menganut paham ini, mereka sangat menentang apapun yang berkaitan dengan pairing member boyband dengan member girlband manapun dan mereka sangat menyukai fan servicev berbau homoseksual yang dilakukan para member di atas panggung. Mereka menolak dikatakan menyimpang karena mereka merasa bahwa hal tersebut adalah real dan bukanlah sesuatu yang direkayasa. Jika contoh kasus di atas dikaitkan dengan pendekatan psikologi komunikasi, makacontoh kasus tersebut dapat kita masukkan ke dalam pendekatan perilaku (behaviorisme). Pendekatan perilaku dapat juga disebut dengan teori belajar karena perilaku manusia didasarkan pada hasil dari proses belajar yang dilakukannya. Manusia belajar segala sesuatu yang diyakininya dari lingkungannya dan lingkungan juga dapat membentuk manusia asalkan manusia tersebut merasa tepat dan cocok dengan lingkungan tersebut (manusia mesin). Seseorang yang pada awalnya tidak tahu dan tidak menyukai boyband Super Junior,tetapi karena trend, jam terbang dan juga popularitas dari boyband tersebut memang sedangtinggi, orang tersebut pada akhirnya mulai mencoba untuk mengenal boyband Super Junior.Seiring dengan berjalannya waktu, orang tersebut akhirnya mengklaim dirinya sebagai fans dan akan mencari dan bergabung dengan komunitas fans yang mengidolakan boyband yang sama. Dengan modal pengetahuan yang minim karena termasuk fans baru, akhirnya orang itu akan  belajar dari pengetahuan dan pengalaman fandomnya yang tingkat fanatismenya bisa dikatakan tinggi. Dari sanalah akhirnya dia mengetahui lebih jauh mengenai idolanya dan karena lingkungan fans yang fanatik itu pula lah yang membuat orang tadi membangun ulang pola pikirnya tentang fangirl. Jika pada awalnya dia hanyalah seorang fangirl yang hanya sekedar ‘suka’ pada boyband itu, maka ketika dia sudah bergabung dengan fandom fanatik boyband tersebut, sudut pandang dan sikapnya terhadap boyband tersebut akan berubah dan akan ikut menjadi fans ekstrim. Seperti yang dijelaskan dalambuku Psychology (Ciccarelli & White, 2009: Pearson): Learning is any relatively permanentchange in behaviour brought about by experience or practice. The ‘relatively permanent’means part of the definition refers to the fact that when people learn enything, some part oftheir brain phsycally changed to record what they’ve learned. ‘Fans baru’ tadi mengalami  perubahan pola pikir karena merekam apa yang telah dia pelajari dari lingkungannya. Proses belajar akan terus berlanjut (dari pengalaman kelompoknya atau pengalaman dan hal yang dilakukannya sendiri) dan akan berdampak pada perilaku ‘fans baru’ tersebut. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa sikap diperoleh melalui proses pembelajaran, terbentuk dalam interaksi bersama orang-orang disekitarnya, dan juga dibentuk melalui proses belajar sosial yaitu proses di mana individu memperoleh informasi, tingkah laku, atau sikap baru dari orang laindan mengimplementasikannya pada sikap dan tingkah lakunya sendiri. Dari sinilah ‘fansbaru’ tersebut belajar tentang: 
  •  Bias mu adalah suami mu, 
  • Peraturan ‘tidak ada pairing boyband-girlband’ dan pairing hanya boleh dilakukan sesama member boyband, 
  • Bahwa member boyband melakukan hal-hal berbau homoseksual adalah demi kepentingan fan service. 

Bias adalah istilah yang digunakan para fangirl untuk member idolanya dalam sebuah boyband. Para fangirl yang fanatik akan menganggap bias mereka adalah suami mereka, karena adanya perasaan memiliki yang berlebihan terhadap bias tersebut yang membuat perilaku para fangirl terkesan over-reacted jika dilihat oleh orang awam. Kondisi ini sebenarnya sangat wajar karena seorang fans yang lingkungan pergaulannya juga dengan sesama fans memiliki kecenderungan belajar melalui pengamatan (observational learning,learning by example) di mana fans tersebut melakukan proses pembelajaran dengan cara mengamati perilaku orang lain, kemudian mencontoh perilaku serupa. 
Anggapan bahwaq bias mereka adalah suami mereka membuat para fans sangat sensitif terhadap isu apapun yang berkaitan dengan bias mereka tersebut (stimulus-respon). Fans sebagai seorang manusia, di mana fanatisme membuat para fans memilikiperasaan cinta yang berlebihan pada idolanya, akan merasakan sebuah kesenangan batin (pleasurable consequence) terlebih lagi jika idola mereka tersebut tidak hanya sekedar muncul dan menunjukkan bakat mereka seperti bernyanyi dan menari, tetapi fans akan lebih merasakan pleasure ketika idola mereka melakukan fan service. Mungkin pada awalnya para fans tidak pernah terpikir bahwa fan service ini akan menjadi hal yang menarik untuk mereka. Tetapi karena idola mereka kerap kali melakukannya dalam setiap penampilan danshow di atas panggung, fans menjadi terbiasa dan justru menuntut untuk selalu dilakukan.Proses ini sesuai dengan apa yang disebut classical conditioning (Ivan Pavlov) di mana proses pembelajaran dapat terjadi ketika suatu stimulus selalu diikuti dengan stimulus yang lain sehingga stimulus pertama akan menjadi isyarat bagi stimulus kedua. Bagi fans,penampilan boyband mereka diatas panggung dengan wajar (hanya bernyanyi dan menari) merupakan sebuah stimulus dan dalam classical conditioning dapat dikategorikan sebagai stimulus pertama. Stimulus kedua adalah ketika boyband melakukan fan service yang merupakan tuntutan dari fans yang akhirnya selalu muncul karena kondisi tersebut dibuat demikian oleh boyband itu sendiri. Respon yang diberikan pada saat fan service bisa beragam. Pada pertama kali boyband melakukan itu misalnya, fans bisa saja memberi respon negatif dengan mengatakan bahwa hal tersebut sangat tidak wajar atau bahkan secara langsung mengatakan bahwa hal tersebut sangat gay, tetapi respon akan berubah ketika fanatisme mulai meningkat ke level selanjutnya dan fan service mulai rutin dilakukan dalam setiap penampilan dan show sehingga pada kondisi demikian, fans sudah merasa bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dan bukan menunjukkan bahwa boyband tersebut homoseksual bahkan fans akan meminta untuk dilakukan lagi pada penampilan berikutnya. Sama halnya dengan dua point di atas, peraturan ‘tidak ada pairing boyband-girlband’juga merupakan salah satu perilaku fans yang sudah mengakar dan turun temurun dari fans pendahulu sebagai role model ke fans selanjutnya. Menurut saya, hal ini lebih kepada rasa cemburu mereka sebagai fans yang telah menganggap bias mereka tersebut sebagai suami  mereka (walaupun mungkin ada juga faktor lain dengan alasan yang sangat spesifik,misalnya: perilaku fangirl yang dianggap tidak appropriate) dan didasarkan pada rasa yang hampir sama dengan ekstra-posesif (rasa memiliki yang berlebihan pada sesuatu).
Perasaan ekstra-posesif dalam konteks fans menjadi hal yang wajar karena adanya keterikatan batin antara fans dengan idolanya yang rumit sehingga pada suatu kondisi yang lebih parahmembuat fans akan merasa takut kehilangan sosok tersebut. Pada point ini, konsep Operant Conditioning dari Skinner mungkin relevan untuk digunakan. Operant Conditioning adalah sebuah voluntary action di mana seseorang akan berusaha untuk mendapatkan apa yangmereka inginkan dan menghindari apa yang mereka tidak inginkan. Operant Conditioning juga adalah proses belajar mengenai suatu perilaku. Satu hal yang ditekankan dalam operant conditioning adalah konsekuensi dari sebuah perilaku (behavior). Konsekuensi dapat beru paganjaran dan dapat juga berupa hukuman. Jika kita kaitkan dengan masalah fans, pairingdan juga pengalaman saya ketika berkomunikasi dengan mereka, kebanyakan dari fans memiliki peraturan-peraturan yang memang sulit untuk dilanggar. Para fans dengan level fanatisme yang sudah tinggi akan membuat fans yang ada di bawahnya untuk ikut dengan mereka. Maka dari itu, jika ada orang-orang yang menyebut diri mereka fans tetapi tidakmengikuti aturan mereka, maka mereka akan memberikan hukuman (punishment) para orang tersebut, misalnya sesuai dengan pengalaman saya sendiri yaitu pemblokiran twitter, dan dalam tahapan lebih lanjut akan diasingkan dari komunitas/fandom. Rasa fanatik seseorang terhadap suatu hal memang terkadang membuat orang tersebut berperilaku berbeda. Tetapi perbedaan perilaku yang mereka lakukan tersebut memang adalah perilaku yang diterima dalam komunitas/fandom mereka dan jika ada salah satu darifangirl yang tidak mengikuti apa yang biasanya komunitas/fandom lakukan, maka orang tersebut bisa jadi dikucilkan. Sulit untuk melawan ataupun menentang peraturan-peraturanyang dibuat oleh fandom sehingga jika ada fans yang berbeda biasanya akan lebih banyakdiam dan mengikuti apa yang biasanya dilakukan oleh mayoritas.

1 komentar:

  1. Anda sangat hebat! Kalau lah generasi sekarang memahami ini,pasti indonesia sudah maju!

    BalasHapus