Saat ini Korea Selatan diperhitungkan sebagai negara dengan
pendapatan ekonomi yang cukup tinggi oleh Bank Dunia dan IMF. Bila kita
melihat Seoul sebagai ibukota Korea Selatan, tempat ini sungguh bisa
menjadi jantung Korea Selatan dimana gap antara kaum miskin dan kaum
kaya tidaklah terlalu besar.
Negara yang merupakan tuan rumah dari beberapa raksasa perusahaan
konglomerat seperti LG, Samsung, dan Hyundai ini, mempunyai sistem
pendidikan yang sangat kompetitif serta mampu mencetak tenaga kerja yang
bermotivasi tinggi, dan mempunyai keahlian yang memadai. Semua ini
tentu tidak lepas dari etos, budaya, serta kultur kerja dari para
pekerjanya.
Dengan adanya perbedaan kultur atau budaya, kultur bisnis Korea bisa
menjadi tantangan tersendiri bagi para pebisnis asing. Banyak perusahaan
Korea yang masih dipengaruhi oleh kultur Confucianist yang kental.
Perusahaan-perusahaan Korea umumnya mempunyai sistem hirarki yang tinggi
dan tersentralisasi dengan beberapa orang “inti”, termasuk para manajer
yang bisa membuat keputusan besar. Semua deskripsi kerja, otoritas dan
hubungan kerja antara atasan dengan bawahan didasari oleh senioritas.
Para pebisnis yang tidak siap dan tidak berpengalaman dengan
Confucianism akan menemukan halangan dalam berbisnis di Korea. Walaupun
banyak sekali orang Korea mengenyam pendidikan di Barat, norma-norma
sosial Confucianism masih sangat dominan dan terlihat jelas di Korea.
Orang-orang asing tidak dituntut untuk mematuhi dan menaati norma-norma
sosial Korea sepenuhnya. Namun, mereka bisa lebih dihargai bila mau
mencurahkan sedikit perhatian dan tenaga untuk belajar beberapa patah
kata kunci dalam bahasa Korea dan mengikuti beberapa norma sosialnya.
Pebisnis Korea berharap para pebisnis bisa menepati janji dan tepat
waktu dalam menghadiri rapat atau pertemuan bisnis. Tradisi profesional
pertama yang biasa dilakukan antara kedua belah pihak dalam meeting
adalah saling bertukar kartu nama. Sangatlah penting untuk membangun
kepercayaan juga membina hubungan agar proses dan hubungan bisnis dapat
berjalan lancar. Tidak seperti di Barat, proses ini memerlukan waktu dan
kesabaran. Orang-orang Korea lebih suka berbisnis dengan orang-orang
yang sudah mereka kenal. Dari sudut pandang orang Barat, orang Korea
dianggap agak “sensitif”. Mereka sangat tidak suka kehilangan muka dan
ditempatkan pada posisi yang sulit di hadapan orang lain.
Meeting pertama biasanya dilakukan untuk membangun kepercayaan
terlebih dahulu. Jadi, mereka tidak langsung menuju pada inti persoalan
bisnis yang ada. Kita harus berlaku formal dalam meeting sampai saat
orang atau perwakilan dari Korea mulai menunjukkan sikap santai.
Kesuksesan proses bisnis tergantung juga dari eratnya hubungan sosial.
Saling berbagi makan malam bisa menjadi salah satu cara untuk membangun
hubungan yang bisa mendorong timbulnya kepercayaan. Para pebisnis Korea
biasanya adalah negosiator yang tangguh. Mereka mengagumi perusahaan
yang mempunyai perwakilan yang mampu bernegosiasi dengan gigih, tetapi
tidak terlalu agresif. Isu-isu yang sensitif umumnya dibicarakan
kemudian, biasanya sambil proses bisnis berjalan, khususnya jika
menyangkut hal-hal yang rumit atau urusan finansial.
Disarankan untuk bisa diperkenalkan melalui pihak kedua daripada
menghubungi langsung atau menghubungi secara acak perusahaan-perusahaan
Korea yang ada. Untuk bisa bertemu dengan orang kunci, hampir selalu
tergantung pada bagaimana cara perkenalan yang dilakukan. Seorang
penengah atau perantara yang credible bisa sangat membantu dalam
mendapatkan kepercayaan dari para pebisnis Korea. Apalagi, bila
perantara tersebut adalah orang yang dihormati. Mereka biasanya
memerlukan waktu untuk membuat keputusan karena seringkali hal ini
diambil atas persetujuan kolektif. Waktu yang diperlukan untuk
pengambilan keputusan juga terkadang lebih lama dari yang diperkirakan.
Jika dilihat dari segi bahasa, tingkat pemahaman bahasa Inggris
orang-orang Korea—yang bisa berbahasa Inggris—ternyata tidak sebagus
yang diperkirakan. Persepsi dan pemahaman mereka seringkali jauh meleset
dari yang sebenarnya dimaksud oleh orang-orang Barat. Perbedaan kultur
seringkali menimbulkan halangan yang cukup besar dalam hal
berkomunikasi. Biasanya orang Barat berusaha untuk mengulang atau
membuat beberapa repetisi agar maksud mereka bisa ditangkap dengan lebih
baik. Selain itu, mereka juga biasa saling bertukar catatan tertulis
setelah meeting supaya bisa lebih memahami maksud dari kedua belah
pihak.
Di Korea, dokumen-dokumen legal tidaklah terlalu penting jika
dibandingkan dengan relationship antarindividu. Mereka bahkan tidak
terlalu suka kontrak yang terlalu detail atau rumit. Mereka lebih
menyukai kontrak yang cukup fleksibel agar bisa melakukan penyesuaian
dengan perubahan kondisi yang mungkin akan terjadi. Dengan demikian,
lebih penting untuk membangun hubungan yang didasari atas saling percaya
dan saling memberikan benefit daripada membuat kontrak yang panjang
atau detail. Bagi orang Korea, yang penting bukanlah “apa” isi kontrak
tersebut, melainkan “siapa” yang menandatanganinya, dan “mengapa”
kontrak itu dibuat.
Hiburan juga memegang peranan penting di Korea dalam hubungan bisnis.
Mereka suka berlomba minum dan saling memberikan hadiah kecil. Kini
Golf juga menjadi olahraga favorit dan menjadi bentuk hiburan yang
diminati. Melalui aktivitas ini, hubungan bisnis bisa menjadi lebih
personal. Pengetahuan mengenai keluarga, status, hobi, ulang tahun,
pengalaman, sampai pada filosofi pribadi bisa didapat dari kegiatan
hiburan atau olahraga. Bahkan, suatu persetujuan yang informal dari
pihak yang sudah saling percaya bisa lebih besar pengaruhnya daripada
dokumen perjanjian tertulis.
Konsep serta nilai dari budaya Korea pada dasarnya terdiri atas
Kibun, Inhwa dan Confucianism. Kata Kibun sendiri tidak punya terjemahan
dalam arti sesungguhnya dalam bahasa Inggris. Tetapi, sebagai konsep
yang meresapi setiap aspek dari kehidupan orang Korea, kata tersebut
bisa didefinisikan sebagai kebanggaan, paras, mood atau cara pandang.
Dalam usaha untuk memelihara Kibun, terutama dalam konteks bisnis,
seseorang harus menghormati orang lain dan menghindari segala tindakan
yang bisa menyebabkan seseorang kehilangan muka. Di dalam kultur di mana
keharmonisan sosial dianggap penting, kemampuan untuk
menginterpretasikan pikiran orang lain (sering disebut juga sebagai
Nunchi) adalah penting untuk memperlancar urusan bisnis.
Inhwa adalah suatu gambaran dari kepercayaan Confucian. Istilah Inhwa
berarti pendekatan Korea kepada keharmonisan. Sebagai suatu masyarakat
yang kolektif, pengambilan keputusan secara mufakat sangatlah penting
untuk mempertahankan keharmonisan di Korea. Supaya Inhwa bisa berjalan
dengan selaras, orang-orang Korea seringkali berusaha menjawab dengan
respons yang positif dan enggan untuk menolak secara langsung. Dalam
kultur bisnis Korea, hal ini tercermin dalam rasa setia pada perusahaan,
kepatuhan, serta perilaku karyawan.
Sedangkan Confucianism merupakan sebuah filosofi yang mampu
mempengaruhi begitu banyak orang Korea. Akar budaya Confucianism begitu
kuat menancap pada kultur Korea, sehingga meresap ke banyak orang di
sana. Filosofi ini membentuk moral, hukum nasional dan gaya hidup secara
umum di Korea, mulai dari dalam keluarga sampai pada kehidupan sosial
mereka.
Terlepas dari pengaruh negara-negara tetangga, Korea Selatan masih
bisa mempertahankan identitas dan ciri khasnya yang jelas dan homogen.
Masih terasa juga pengaruh-pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan
religiusnya. Satu hal lagi, Korea juga mempunyai pemandangan dan
landscape yang menakjubkan. Rakyat Korea memegang kebanggaan tinggi akan
warisan atau pusaka yang unik, dan juga bahasanya yang terbentuk dari
sejarah panjang dan berliku. Sebagai hasilnya, hal tersebut tercermin
juga pada kultur dan budaya bekerja atau berbisnisnya.
Perubahan wajah Korea terus berlanjut. Meskipun negara yang dikenal
dengan sejarahnya yang cukup pelik ini terbebas dari Jepang pada akhir
Perang Dunia kedua, mereka masih harus menghadapi Perang Dingin. Namun,
Korea mencetak kemajuan ekonomi yang cukup pesat dan terus berkembang
menjadi salah satu yang terbesar di Asia, selain Jepang dan Cina.
Peluang bisnis yang berkembang di Korea pun turut meningkatkan minat dan
rasa ingin tahu dunia akan pengetahuan kultur serta budayanya.