Selasa, 24 April 2012

Tradisi Bisnis Korea: KIBUN, INHWA DAN CONFUCIANISM

Korea adalah salah satu negara yang patut diperhitungkan dalam kancah kejayaan Asia. Bagaimana tidak? Perekonomian pasar bebas Negara Ginseng ini masuk ke dalam peringkat lima besar di seluruh Asia, dan ke-15 yang terbesar di dunia. Tak heran negara ini diperhitungkan sebagai salah satu “Macan Asia”.
Saat ini Korea Selatan diperhitungkan sebagai negara dengan pendapatan ekonomi yang cukup tinggi oleh Bank Dunia dan IMF. Bila kita melihat Seoul sebagai ibukota Korea Selatan, tempat ini sungguh bisa menjadi jantung Korea Selatan dimana gap antara kaum miskin dan kaum kaya tidaklah terlalu besar.
Negara yang merupakan tuan rumah dari beberapa raksasa perusahaan konglomerat seperti LG, Samsung, dan Hyundai ini, mempunyai sistem pendidikan yang sangat kompetitif serta mampu mencetak tenaga kerja yang bermotivasi tinggi, dan mempunyai keahlian yang memadai. Semua ini tentu tidak lepas dari etos, budaya, serta kultur kerja dari para pekerjanya.
Dengan adanya perbedaan kultur atau budaya, kultur bisnis Korea bisa menjadi tantangan tersendiri bagi para pebisnis asing. Banyak perusahaan Korea yang masih dipengaruhi oleh kultur Confucianist yang kental. Perusahaan-perusahaan Korea umumnya mempunyai sistem hirarki yang tinggi dan tersentralisasi dengan beberapa orang “inti”, termasuk para manajer yang bisa membuat keputusan besar. Semua deskripsi kerja, otoritas dan hubungan kerja antara atasan dengan bawahan didasari oleh senioritas.
Para pebisnis yang tidak siap dan tidak berpengalaman dengan Confucianism akan menemukan halangan dalam berbisnis di Korea. Walaupun banyak sekali orang Korea mengenyam pendidikan di Barat, norma-norma sosial Confucianism masih sangat dominan dan terlihat jelas di Korea. Orang-orang asing tidak dituntut untuk mematuhi dan menaati norma-norma sosial Korea sepenuhnya. Namun, mereka bisa lebih dihargai bila mau mencurahkan sedikit perhatian dan tenaga untuk belajar beberapa patah kata kunci dalam bahasa Korea dan mengikuti beberapa norma sosialnya.
Pebisnis Korea berharap para pebisnis bisa menepati janji dan tepat waktu dalam menghadiri rapat atau pertemuan bisnis. Tradisi profesional pertama yang biasa dilakukan antara kedua belah pihak dalam meeting adalah saling bertukar kartu nama. Sangatlah penting untuk membangun kepercayaan juga membina hubungan agar proses dan hubungan bisnis dapat berjalan lancar. Tidak seperti di Barat, proses ini memerlukan waktu dan kesabaran. Orang-orang Korea lebih suka berbisnis dengan orang-orang yang sudah mereka kenal. Dari sudut pandang orang Barat, orang Korea dianggap agak “sensitif”. Mereka sangat tidak suka kehilangan muka dan ditempatkan pada posisi yang sulit di hadapan orang lain.
Meeting pertama biasanya dilakukan untuk membangun kepercayaan terlebih dahulu. Jadi, mereka tidak langsung menuju pada inti persoalan bisnis yang ada. Kita harus berlaku formal dalam meeting sampai saat orang atau perwakilan dari Korea mulai menunjukkan sikap santai. Kesuksesan proses bisnis tergantung juga dari eratnya hubungan sosial. Saling berbagi makan malam bisa menjadi salah satu cara untuk membangun hubungan yang bisa mendorong timbulnya kepercayaan. Para pebisnis Korea biasanya adalah negosiator yang tangguh. Mereka mengagumi perusahaan yang mempunyai perwakilan yang mampu bernegosiasi dengan gigih, tetapi tidak terlalu agresif. Isu-isu yang sensitif umumnya dibicarakan kemudian, biasanya sambil proses bisnis berjalan, khususnya jika menyangkut hal-hal yang rumit atau urusan finansial.
Disarankan untuk bisa diperkenalkan melalui pihak kedua daripada menghubungi langsung atau menghubungi secara acak perusahaan-perusahaan Korea yang ada. Untuk bisa bertemu dengan orang kunci, hampir selalu tergantung pada bagaimana cara perkenalan yang dilakukan. Seorang penengah atau perantara yang credible bisa sangat membantu dalam mendapatkan kepercayaan dari para pebisnis Korea. Apalagi, bila perantara tersebut adalah orang yang dihormati. Mereka biasanya memerlukan waktu untuk membuat keputusan karena seringkali hal ini diambil atas persetujuan kolektif. Waktu yang diperlukan untuk pengambilan keputusan juga terkadang lebih lama dari yang diperkirakan.
Jika dilihat dari segi bahasa, tingkat pemahaman bahasa Inggris orang-orang Korea—yang bisa berbahasa Inggris—ternyata tidak sebagus yang diperkirakan. Persepsi dan pemahaman mereka seringkali jauh meleset dari yang sebenarnya dimaksud oleh orang-orang Barat. Perbedaan kultur seringkali menimbulkan halangan yang cukup besar dalam hal berkomunikasi. Biasanya orang Barat berusaha untuk mengulang atau membuat beberapa repetisi agar maksud mereka bisa ditangkap dengan lebih baik. Selain itu, mereka juga biasa saling bertukar catatan tertulis setelah meeting supaya bisa lebih memahami maksud dari kedua belah pihak.
Di Korea, dokumen-dokumen legal tidaklah terlalu penting jika dibandingkan dengan relationship antarindividu. Mereka bahkan tidak terlalu suka kontrak yang terlalu detail atau rumit. Mereka lebih menyukai kontrak yang cukup fleksibel agar bisa melakukan penyesuaian dengan perubahan kondisi yang mungkin akan terjadi. Dengan demikian, lebih penting untuk membangun hubungan yang didasari atas saling percaya dan saling memberikan benefit daripada membuat kontrak yang panjang atau detail. Bagi orang Korea, yang penting bukanlah “apa” isi kontrak tersebut, melainkan “siapa” yang menandatanganinya, dan “mengapa” kontrak itu dibuat.
Hiburan juga memegang peranan penting di Korea dalam hubungan bisnis. Mereka suka berlomba minum dan saling memberikan hadiah kecil. Kini Golf juga menjadi olahraga favorit dan menjadi bentuk hiburan yang diminati. Melalui aktivitas ini, hubungan bisnis bisa menjadi lebih personal. Pengetahuan mengenai keluarga, status, hobi, ulang tahun, pengalaman, sampai pada filosofi pribadi bisa didapat dari kegiatan hiburan atau olahraga. Bahkan, suatu persetujuan yang informal dari pihak yang sudah saling percaya bisa lebih besar pengaruhnya daripada dokumen perjanjian tertulis.
Konsep serta nilai dari budaya Korea pada dasarnya terdiri atas Kibun, Inhwa dan Confucianism. Kata Kibun sendiri tidak punya terjemahan dalam arti sesungguhnya dalam bahasa Inggris. Tetapi, sebagai konsep yang meresapi setiap aspek dari kehidupan orang Korea, kata tersebut bisa didefinisikan sebagai kebanggaan, paras, mood atau cara pandang. Dalam usaha untuk memelihara Kibun, terutama dalam konteks bisnis, seseorang harus menghormati orang lain dan menghindari segala tindakan yang bisa menyebabkan seseorang kehilangan muka. Di dalam kultur di mana keharmonisan sosial dianggap penting, kemampuan untuk menginterpretasikan pikiran orang lain (sering disebut juga sebagai Nunchi) adalah penting untuk memperlancar urusan bisnis.
Inhwa adalah suatu gambaran dari kepercayaan Confucian. Istilah Inhwa berarti pendekatan Korea kepada keharmonisan. Sebagai suatu masyarakat yang kolektif, pengambilan keputusan secara mufakat sangatlah penting untuk mempertahankan keharmonisan di Korea. Supaya Inhwa bisa berjalan dengan selaras, orang-orang Korea seringkali berusaha menjawab dengan respons yang positif dan enggan untuk menolak secara langsung. Dalam kultur bisnis Korea, hal ini tercermin dalam rasa setia pada perusahaan, kepatuhan, serta perilaku karyawan.
Sedangkan Confucianism merupakan sebuah filosofi yang mampu mempengaruhi begitu banyak orang Korea. Akar budaya Confucianism begitu kuat menancap pada kultur Korea, sehingga meresap ke banyak orang di sana. Filosofi ini membentuk moral, hukum nasional dan gaya hidup secara umum di Korea, mulai dari dalam keluarga sampai pada kehidupan sosial mereka.
Terlepas dari pengaruh negara-negara tetangga, Korea Selatan masih bisa mempertahankan identitas dan ciri khasnya yang jelas dan homogen. Masih terasa juga pengaruh-pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan religiusnya. Satu hal lagi, Korea juga mempunyai pemandangan dan landscape yang menakjubkan. Rakyat Korea memegang kebanggaan tinggi akan warisan atau pusaka yang unik, dan juga bahasanya yang terbentuk dari sejarah panjang dan berliku. Sebagai hasilnya, hal tersebut tercermin juga pada kultur dan budaya bekerja atau berbisnisnya.
Perubahan wajah Korea terus berlanjut. Meskipun negara yang dikenal dengan sejarahnya yang cukup pelik ini terbebas dari Jepang pada akhir Perang Dunia kedua, mereka masih harus menghadapi Perang Dingin. Namun, Korea mencetak kemajuan ekonomi yang cukup pesat dan terus berkembang menjadi salah satu yang terbesar di Asia, selain Jepang dan Cina. Peluang bisnis yang berkembang di Korea pun turut meningkatkan minat dan rasa ingin tahu dunia akan pengetahuan kultur serta budayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar